Kamis, Agustus 21

Bintang Kejora dan Nasionalisme Minus Substansi

Seperti siklus yang melingkar, lagi-lagi selembar bendera Bintang Kejora menelan korban di Papua. Di Wamena seorang peserta demonstrasi tewas terbunuh sesaat setelah Bintang Kejora berkibar pada peringatan Hari Pribumi Internasional, 9 Agustus 2008.

Sebelumnya sudah banyak aktivis Papua yang divonis dengan hukuman berat. Jumlahnya pasti akan bertambah karena pemerintah sudah memasang jerat dengan hadirnya Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2007 yang melarang simbol-simbol yang berasosiasi dengan separatisme.

Untuk tahun 2008 saja, setidaknya ada sekitar 10 kasus pengibaran Bintang Kejora di berbagai kabupaten, seperti Manokwari, Timika, Jayapura, Wamena, bahkan Fakfak. Lebih dari 50 orang sudah pernah ditahan. Lebih dari 10 orang kemudian diadili. Pada awal tahun ini dua ibu Papua sempat ditangkap hanya karena menyulam gambar Bintang Kejora di tas yang ia jual di pinggir jalan.

Korban Bintang Kejora yang menjadi terkenal akhir-akhir ini adalah Filep Karma yang divonis oleh Pengadilan Negeri Jayapura 15 tahun penjara dan Yusak Pakage 10 tahun penjara pada tahun 2004. Kasusnya menjadi amunisi untuk terus mempersoalkan Papua di forum internasional. Hasilnya, minggu lalu 40 anggota Kongres AS menekan Presiden RI agar membebaskan Filep Karma dan Yusak Pakage.

Tekanan Kongres AS ini merupakan penanda kegagalan diplomasi publik dan kegagalan Pemerintah Indonesia, seperti janji Presiden Yudhoyono untuk menyelesaikan masalah Papua secara adil dan bermartabat.
Vonis makar, represi yang keras, dan berbagai ancaman sanksi lainnya tak akan membuat orang Papua berhenti mengibarkan Bintang Kejora. Kelompok aktivis yang serius, individu yang iseng, hingga oknum aparat yang bermain-main bisa saja mengibarkan bendera itu atau menyuruh orang lain melakukannya di mana dan kapan saja.

Sudah pasti pula bahwa sumber daya polisi akan terhambur untuk terus mengurus kasus ini. Pengadilan juga akan terus-menerus menjatuhkan hukuman berat bagi pelakunya. Hasilnya, akar masalah Papua yang nyata dan mendesak terabaikan dan negara ini disandera oleh faham nasionalisme yang simbolistis dan cenderung destruktif pada dirinya sendiri.
Soal serius

Sesungguhnya ada soal serius dengan rasionalitas politik para nasionalis Indonesia. Selembar bendera dianggap begitu menakutkan. Untuk menghadapi itu, ratusan personel polisi atau TNI dikerahkan. Seakan-akan republik ini akan segera runtuh bila bendera itu dibiarkan berkibar. Seakan-akan ratusan orang boleh ditangkap, dihilangkan, atau dibunuh demi simbol NKRI itu.

Mereka percaya bahwa masalah Papua seakan-akan selesai jika Bintang Kejora tak lagi berkibar. Para nasionalis banal itu tak menyadari bahwa justru yang bisa mendorong disintegrasi NKRI adalah perspektif nasionalis simbolistis yang terus menghasilkan ketakadilan pada masa lalu dan masa kini.
Jika pemerintah ingin konflik Papua bisa diselesaikan, Bintang Kejora seharusnya dipahami sebagai simbol yang mewakili tuntutan orang Papua atas setidaknya empat soal ketidakadilan: marjinalisasi orang asli Papua, kegagalan pembangunan di Papua, pelanggaran HAM oleh aparat negara, dan kontradiksi status politik dan sejarah yang tak pernah didialogkan.

Para nasionalis Indonesia seharusnya mengubah total perspektifnya dalam melihat Papua. Keindonesiaan tak bisa dijaga hanya bermain dengan simbol bendera, lagu kebangsaan, atau upacara 17 Agustus. Tuntutan orang Papua harus dijawab dengan mengubah cara pemerintah menangani masalah Papua dari perspektif keamanan ke perspektif keadilan; dari perspektif nasionalis yang simbolistis dan militeristis menjadi perspektif yang substansial dan konkret.

Akar persoalan

Nilai keindonesiaan di Papua hanya bisa dibangun dengan kebijakan konkret yang langsung menyentuh akar persoalan di Papua. Keindonesiaan seharusnya dibangun kembali dengan memberdayakan orang asli Papua sebagai subyek utama perubahan dan menghargai identitas dan kebudayaannya, menata pembangunan warga negara di sana dengan paradigma baru, menyelesaikan utang pelanggaran HAM oleh aparat negara pada masa lalu, serta membuka ruang dialog yang substansial dengan para pemimpin Papua.

Dengan berfokus pada penyelesaian empat isu utama di atas, saya percaya wajah keindonesiaan di Papua masih bisa diubah secara bertahap. Rasa percaya dan optimisme rakyat Papua untuk menegosiasi masa lalu, memperbaiki masa kini, dan menyelamatkan masa depan bisa ditumbuhkan kembali. (Muridan S Widjojo Koordinator Papua Road Map, Pusat Penelitian Politik LIPI, Jakarta, Kompas, Jumat, 22 Agustus 2008 00:27 WIB