Selasa, Juni 24

Krisis BBM, Jarak, dan Algae

Krisis bahan bakar minyak global ikut memukul Indonesia. Alternatif substitusi BBM pun dicari. Dan tanaman jarak sempat menyedot perhatian. Benarkah jarak bisa mengatasi soal BBM? Jangan-jangan kebijakan yang dibuat bisa membuat pemerintah kian tak populer. Mengapa?
Dari tiap hektar kebun jarak pagar (Jatropha curcas), dalam setahun hanya menghasilkan 1.500 liter minyak. Ini lebih baik dibanding biji lobak yang menghasilkan 1.000 liter dan biji kubis (mustard) 1.300 liter. Namun, jarak masih kalah unggul dari kelapa (2.200 liter), sawit (Crude Palm Oil/CPO) (5.800 liter), dan terlebih lagi dari algae yang produktivitasnya mencapai 40.000 hingga 120.000 liter per hektar per tahun. Produktivitas algae benar-benar luar biasa dibanding CPO sekalipun.
Ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tetirah di resor Losari, Jawa Tengah, memang ada laporan tentang jarak, metanol (dari tetes tebu), dan CPO. Tetapi perhatian SBY dan pers terfokus ke jarak. Alam pikiran bawah sadar kita beranggapan, ada tumbuhan ajaib yang bisa mengatasi masalah dan bisa memakmurkan rakyat Indonesia yang terus dirundung bencana.
Dalam pertemuan informal dengan para menteri di Losari itu, tidak ada sedikit pun info tentang algae. Hingga media, termasuk Kompas, terkecoh mempromosikan jarak pagar sebagai komoditas yang bisa mengatasi krisis BBM sekaligus memakmurkan petani Indonesia. Sejak Kompas memuat informasi tentang jarak (11-12/7/2006), banyak pertanyaan ihwal komoditas itu.
Plus minus jarak
Meski produktivitasnya kalah dari kelapa dan CPO, jarak tetap memiliki keunggulan sebab budidaya dan pascapanennya amat sederhana hingga bisa dilakukan dalam skala rumah tangga. Jarak juga bisa digunakan untuk bahan bakar sehingga tidak bersaing sebagai produk pangan, seperti kelapa dan CPO. Jarak memiliki keunggulan, dapat dikembangkan di kawasan kering dan tandus, misalnya di Provinsi NTT.
Kelemahan jarak adalah produktivitasnya. Produktivitasnya justru menurun jika dibudidayakan di lahan subur, di kawasan basah. Jika jarak ditanam di Pulau Jawa, daunnya akan rimbun tapi buahnya sedikit. Selain itu, harga biodiesel dari jarak harus lebih murah dari solar. Jika harga solar Rp 4.300 per liter, minyak jarak hanya bisa dijual Rp 4.000 di tingkat konsumen atau Rp 3.500 di tingkat produsen. Dengan produktivitas 1.500 liter per hektar per tahun, pendapatan bruto agroindustri jarak Rp 5.250.000 per hektar per tahun.
Nilai rata-rata lahan di Jawa sudah di atas Rp 10.000 per meter persegi atau Rp 100.000.000 per hektar. Dengan suku bunga deposito lima persen per tahun, jika lahan dijual dan uangnya dideposito, maka hasil bersihnya Rp 5.000.000 per tahun tanpa harus kerja dan menanggung risiko.
Masih banyak komoditas yang hasilnya lebih tinggi dari jarak. Komoditas pangan atau hortikultura, dengan masa panen 3-4 bulan (4-3 kali panen per tahun), hasil lahan itu pasti lebih tinggi.
Informasi inilah yang disembunyikan para promotor jarak. Rakyat, bupati, gubernur, menteri, bahkan presiden, tidak diberitahu bahwa pendapatan bruto agroindustri jarak hanya Rp 5.250.000 per hektar per tahun.
Pendapatan ini tidak feasible untuk disodorkan ke rakyat. Sebab bagi mereka, lebih menguntungkan memproduksi CPO atau gula tebu dengan hasil sampingan biodiesel dan metanol.
Keunggulan "Algae"
Masyarakat awam biasa menyebut algae sebagai lumut. Tumbuhan purba ini sering mengganggu akuarium dan kolam renang. Itu adalah algae bersel banyak. Algae yang rendemen minyaknya tinggi dan pertumbuhannya cepat adalah tumbuhan bersel satu, terutama yang hidup di laut. Algae bersel satu ini tidak berakar dan tidak berdaun, tetapi berklorofil. Ia juga lazim disebut microalgae, phytoplankton, microphytes, planktonic algae, atau cyanobacteria. Produktivitas algae dalam menghasilkan biodiesel bisa tinggi karena beberapa faktor.
Algae amat efektif dalam mengubah nutrisi dan karbon dioksida (CO2) dari air, dengan bantuan sinar matahari hingga menjadi energi. Proses penyerapan nutrisi, CO2, dan sinar matahari pada algae berlangsung sederhana, cepat, dan murah. Beda dengan proses serupa pada tanaman tingkat tinggi.
Karena bisa hidup di air laut maupun tawar, budidaya algae bisa dilakukan dengan cara terbuka dan ekstensif di perairan laut yang dikelilingi karang (atol), danau, kolam, atau kanal. Budidaya algae juga bisa dilakukan secara tertutup dengan menaungi kolam, kanal, atau bak menggunakan plastik (greenhouse), dan mengatur suplai nutrisi. Cara tertutup yang lebih efisien adalah dengan photobioreaktor. Sistem ini merupakan pengembangan tangki bioreaktor biasa yang diberi tambahan sumber sinar buatan.
Kelebihan algae dibanding bahan nabati lain adalah pengambilan minyaknya tanpa perlu penggilingan. Minyak algae (alga oil) bisa langsung diekstrak dengan bantuan zat pelarut, enzim, pengempaan (pemerasan), ekstraksi CO2, ekstraksi ultrasonik, dan osmotic shock. Panen algae bisa dilakukan dengan aneka cara, mulai dari penyaringan mikro, sentrifugal (pemutaran), dan flokulasi (flocculation). Flokulasi adalah pemisahan algae dari air dengan bantuan zat kimia.
Keunggulan Indonesia
Budidaya microalgae secara massal sudah dilakukan antara lain di Danau Texcoco di bagian tengah Meksiko. Jenis algae yang dibudidayakan adalah Spirulina (Arthospira platensis), jenis algae hijau/biru (cyanobacteria). Budidaya algae di Meksiko ini bukan untuk memproduksi biodisel, tetapi sebagai bahan pangan. Dibanding Meksiko, Indonesia lebih unggul karena perairan lautnya lebih luas dari daratan. Budidaya algae secara ekstensif di laut lebih murah dibanding di darat.
Algae tidak hanya berpotensi menghasilkan biodiesel. Komoditas ini bisa menjadi bahan pangan, pakan ternak, biomassa yang langsung bisa dibakar, untuk industri farmasi, plastik, metanol, guna mengatasi pencemaran lingkungan. Sayang, komoditas hebat ini suaranya "nyaris tak terdengar". Yang gencar dipublikasikan justru jarak, yang produktivitasnya rendah.
Keputusan SBY untuk mengembangkan jarak mestinya tidak terjadi jika saja diberikan informasi lengkap tentang potensi bahan nabati, untuk biodiesel dan metanol. Mulai dari jarak, kelapa, CPO, singkong, ubi jalar, dan algae. Komoditas ini merupakan masa depan pengganti BBM. Indonesia dengan laut tropisnya yang luas berpotensi memproduksi BBM dari algae. (F. Rahardi, Kompas, 25 Feb 2007)

Soeharto dalam Sastra

Setiap kali penduduk Kota Bebek membuka koran, yang ingin mereka ketahui hanya satu: apakah hari ini Paman Gober sudah mati. Setiap pagi mereka berharap akan membaca berita kematian Paman Gober, di halaman pertama. (Seno Gumira Ajidarma, 2001:11)
Soeharto, mantan presiden Republik Indonesia yang berkuasa 32 tahun itu, juga dibicarakan dalam karya sastra. Adalah tidak mungkin tidak mencatat Soeharto dalam sastra, dengan kekuasaannya yang selama itu.
Hanya, pada karya sastra, Soeharto dibicarakan secara realistis, agak transparan, bahkan sindirannya mudah dipahami, ke mana mata pisau kata-kata itu tertuju. Tanpa pembaca mengalami kesulitan memahami siapa yang dimaksud oleh karya tersebut.
Dengan demikian, ketika membaca karya sastra yang menyinggung Soeharto di dalamnya, pembaca tidak begitu kesukaran dan dengan cepat tahu bahwa obyek yang dibicarakan dalam karya sastra adalah Soeharto. Mengapa begitu? Apa yang membedakannya dengan laporan jurnalistik, sejarah, artikel, atau karya-karya akademik?
Pertama, karya sastra mengajak kita untuk memahami bukan untuk hanya mengetahui. Jika hanya untuk mengetahui, maka semua orang akan dapat mengetahui hanya sekadar dengan melihat faktanya. Namun, untuk memahaminya, ia harus menjalani perjalanan rasionalitas obyektif ke empirisme subyektif, dari pengetahuan pada kearifan kemanusiaan, mengajak untuk lebih bijak dan adil dalam memahami kehidupan.
Dengan demikian, dalam sastra tentang ”Suharto”, bukan lagi soal transparansi atau sindiran ”yang begitu jelas” itu yang menjadi persoalan, tetapi masalah: ”ada apa di balik semua itu”?
Semua ironi, satir, dan tragedi dalam sastra tentang ”Suharto” pun kemudian mengajak kita untuk masuk pada kearifan, pada tanggung jawab yang kritis dan waspada. Dengan dasar pemikiran itu, maka sastra bukan untuk mengklaim, memveto, mendiskreditkan, memojokkan, menghina, menjatuhkan, berpihak, pada selain nilai-nilai kemanusiaan. Sebaliknya, bila ada yang bersifat demikian, ia sudah merupakan propaganda, slogan, doktrin, atau dogma.
Absurditas sastra Soeharto
Alasan kedua yang membedakan adalah sebuah premis tentang bahasa sastra yang ditentukan oleh karakter dan sifat kekuasaan. Kekuasaan yang adil biasanya melahirkan karya sastra yang tidak vulgar. Namun, ketika suatu kekuasaan bebal, tebal muka, muka tembok, tidak rasional dan zalim, maka karya sastra pun akan bicara dengan bahasa yang tidak halus, bahkan kasar, penuh dengan metafor yang absurd.
Ketika Soeharto berkuasa, karya sastra penuh dengan metafor yang absurd, semakin kuat kekuasaannya maka akan semakin rumit metafor dan absurditas yang digunakannya. Dapat dipahami mengapa tahun 70-an karya sastra Indonesia dikuasai oleh jenis sastra absurditas, sedangkan mendekati tahun 90-an dan 2000-an, absurditas semakin kurang dan metafornya semakin transparan karena kekuasaan Soeharto semakin lemah.
Memang ada suatu budaya yang tabu membicarakan penguasa mereka, kendati penguasa itu zalim dan menganiaya. Akan tetapi, perilaku literer itu hadir, bisa jadi karena budaya feodalistik sudah begitu mengakar, atau begitu kuatnya tangan kekuasaan menenggelamkan publiknya.
Alasan ketiga, karya sastra berbicara pada tataran tafsir, majas, makna yang ambigu, bukan pada tataran fakta obyektif atau validitas. Oleh sebab itu, Soeharto yang dibicarakan oleh karya sastra bukanlah Soeharto sesungguhnya, tetapi Soeharto dalam pengertian makna dan tafsir. Yang mengajak dan membawa kita pada hikmah tentang keadilan, kebenaran, atau setidaknya tentang manusia itu sendiri.
Soeharto dalam Seno
Salah satu karya sastra yang membicarakan Soeharto dengan bagus dan kuat pada masa kejayaan penguasa Orde Baru itu mungkin adalah cerpen Paman Gober (Republika, 30-10-1994) karya Seno Gumira Adjidarma. Cerpen yang dibacakan Butet Kertaradjasa pada acara Federasi Teater Indonesia (FTI) Award 2007 di Teater Studio, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, memang salah satu karya terbaik Seno yang termaktub dalam kumpulan Iblis Tidak Pernah Mati (1999). Ia seperti memprediksi realitas Soeharto lebih satu dekade kemudian. Ketika penguasa 32 tahun itu mengalami sakratulmaut di rumah sakit.
Memang tak cuma Seno yang mengangkat Soeharto ke dalam karya-karya fiksinya. Setidaknya ada 17 cerpen yang dianggap membicarakan Soeharto, dalam ungkapan yang bermacam dan dibukukan oleh M Shoim Anwar (Soeharto dalam Cerpen Indonesia, 2001). Ada tersebut antara lain Menembak Banteng (F Rahardi); Diam (Moes Loindong); Tembok Pak Rambo (Taufik Ikram Jamil); Saran ”Groot Majoor” Prakosa (YB Mangunwijaya); Bukan Titisan Semar (Bonari Nabonenar); Kaki Druhun (Bonari Nabonenar); ”Masuklah ke Telingaku, Ayah” (Triyanto Triwikromo).
Lalu, juga ada Monolog Kesunyian (Indra Tranggono); Celeng (Agus Noor); Senotaphium (Agus Noor); Gadis Kecil dan Mahkota Raja (Sunaryono Basuki Ks); Menari di Atas Mayat (Indra Tranggono); Negeri Angin (M Fudoli Zaini); Putri Jelita dan Terbunuhnya Tuan Presiden (Joni Ariadinata); serta Orang Besar (Jujur Prananto). Tapi, di luar itu, masih cukup banyak cerpen atau karya sastra lain yang tersebar dan diterbitkan dalam berbagai media dan mengangkat figur Soeharto di dalamnya.
Pada sejumlah karya itu, kita mungkin dapat menangkap bagaimana masyarakat—yang diwakili pengarangnya—melihat dan mengapresiasi sebuah sosok yang bernama Soeharto. Dengan itu pula, barangkali kita juga bisa menengarai bentuk kekuasaan macam apa sebenarnya yang telah digagas dan dipraktikkan oleh Jenderal yang Tersenyum itu. Namun, apa pun, semua itu akhirnya hanyalah ”tanda”, di mana setiap orang bebas membaca, menafsirkan atau menarik signifikansinya. Entah sebagai ironi, satir, tragedi, peringatan, dan pelajaran, tetapi jelas, ia akan berguna bagi mereka, ”bagi orang orang-orang yang berpikir”. Andakah juga?

(Fadlillah Malin Sutan Kayo Dosen dan Peneliti di Pusat Penelitian Sastra Indonesia, Universitas Andalas, Padang. Tinggal di Kampuang Batima, Nagari Soengai Jamboe, Kompas, Sabtu, 1 Maret 2008)

Krisis Pangan sebagai Berkah

Jakarta, Singapura, Tokyo, dan New York tidak punya sawah, tidak punya ladang, dan tidak dihuni petani. Namun, beras dan gandum menumpuk di sini dengan harga relatif murah. Sementara itu, petani terpaksa harus membeli produk dan jasa para penghuni metropolis dengan harga sangat tinggi.
Tahun-tahun 1998 sampai 2000 selalu disebut sebagai periode krisis moneter (krismon). Makna dari krismon adalah harga produk kebutuhan pokok melambung, PHK terjadi di mana-mana, dan nilai kurs rupiah terhadap dollar AS mencapai Rp 16.000 per 1 dollar. Bagi masyarakat Jakarta, Surabaya, dan metropolis di Jawa, periode 1998-2000 adalah krisis. Sebaliknya, para petani cengkih, lada, pala, jahe, pepaya, dan juga padi menganggap tahun 1998-2000 sebagai berkah.
Sebab, harga cengkih, lada, dan pala, yang sebelumnya di bawah Rp 20.000 per kg, pada tahun 1999 melambung sampai di atas Rp 100.000 per kg. Pepaya, yang sebelumnya hanya Rp 50 per kg, naik menjadi Rp 250 per kg. Petani menjadi sangat makmur. Pasar utama, seperti mobil, sepeda motor, kulkas, dan televisi, bergeser ke sentra pertanian. Karena produksi mobil dan sepeda motor baru sangat terbatas, yang bekas pun laris manis di Sumatera, Kalimantan, dan terutama Sulawesi.
Sayangnya petani tidak punya media massa. Wartawan pun bukan bagian dari petani, peternak, nelayan, dan perajin yang tahun- tahun itu menerima berkah. Wartawan termasuk pihak yang mengalami krisis. Sebab, halaman media cetak menyusut akibat harga kertas naik. Jam siaran radio dan jam tayang televisi dibatasi. Iklan tersendat. Nafkah wartawan terancam. Maka isu yang diekspos media massa nasional adalah krisis ekonomi. Bukan berkah bagi petani.
Ketakadilan nilai tukar
Perkembangan sarana komunikasi dan transportasi telah menciptakan tidak adilnya nilai tukar. Petani menjual gabah dengan harga Rp 1.000 per kg. Meskipun harga dasar yang ditetapkan pemerintah mencapai Rp 2.000 per kg, harga jagung dan singkong malahan lebih rendah lagi. Lalu, petani harus membeli mi dan roti, yang nilai per kilogramnya mencapai Rp 5.000. Belum lagi kalau petani memerlukan sabun, batu baterai, minyak goreng, dan lain-lain, yang harganya beberapa kali lipat harga padi.
Salah satu medium yang mengakibatkan nilai tukar tak seimbang adalah radio dan televisi. Petani yang tinggal di kampung paling pelosok pun sudah bisa mendengarkan radio dan menonton siaran televisi. Hingga anak-anak petani itu harus membeli CD atau DVD musik dan film dari bintang idola mereka. Mereka juga perlu celana jin, t-shirt, deodoran, sampo, sepeda motor, telepon seluler, dan semua pernik yang tiap hari muncul di layar televisi. Meski nilai tukar tak seimbang, ini masih lumayan.
Yang terjadi di banyak tempat, terutama di pinggiran kota atau di sekitar kawasan wisata, petani menjual tanah mereka untuk dibelanjakan ”produk kota”. Alat produksi itulah yang mereka korbankan untuk ditukar dengan simbol-simbol metropolis. Kemubaziran nasional lalu terjadi. Sawah berubah menjadi vila yang hanya dihuni seminggu sekali. Petani yang sebelumnya produsen pangan, sekarang menjadi penunggu vila yang tak perlu lagi memikirkan produktivitas
.
Ketakadilan global
Jakarta selama ini dianggap sebagai kekuatan ekonomi nasional. Hingga ketakadilan bisa mudah diciptakan agar penghuni metropolis ini tetap bisa menikmati pangan murah. Sementara itu, produk barang dan jasa yang mereka hasilkan dihargai sangat tinggi di pelosok kampung. Meski terjadi ketakadilan, ini semua masih bisa dianggap normal. Kalau Singapura yang negeri pulau atau Jepang yang negara industri mengimpor sandang dan pangan, itu normal.
Kalau kemudian negara berkembang menyuplai produk pangan ke Singapura dan Jepang, itu juga normal. Meski produk pangan tersebut tak dihargai setinggi produk barang dan jasa dari negeri maju tersebut. Kalau sekarang ini dianggap sedang ada krisis pangan, krisis itu berlaku untuk penduduk metropolis. Bagi petani, krisis pangan adalah berkah. Kalau harga beras melambung sampai Rp 10.000, itu berkah bagi petani. Sebab, penduduk metropolis memang harus membayar mahal kepada para petani.
Namun, Indonesia tidak mungkin menangkap peluang krisis pangan global ini sebagai berkah. Idealnya, Indonesia mengekspor produk pangan ke AS meski dengan harga murah, lalu AS menjual produk barang dan jasa berteknologi tinggi ke negeri kita. Misalnya, pesawat terbang, komputer, musik, dan film Hollywood. Yang terjadi, kita justru impor gandum, kedelai, bungkil, induk ayam ras, susu bubuk, kapas, apel, dan jeruk dari AS.
RRC dan India
AS sebenarnya lebih senang mengekspor produk sandang serta pangan mereka ke RRC dan India. Sebab, populasi penduduk dua negeri ini di atas 1 miliar jiwa. Dua negeri raksasa ini ternyata cukup cerdik. Mereka bisa surplus sandang dan pangan. Belajar dari zaman Mao yang lapar dan susah, RRC kemudian menanam gandum, padi, jagung, kentang, ubi jalar, bahkan juga biji bayam (amaranth grain). Mereka menanam kapas, rami, dan canabis untuk sandang.
Canabis sebenarnya ganja, tapi bukan untuk memproduksi narkoba, melainkan diambil serat batangnya untuk sandang dan bijinya untuk bungkil. India selain punya gandum dan beras juga rajin mengurus aneka umbi-umbian, terutama suweg (Amorphophallus paeoniifolius). Sekarang RRC adalah penghasil gandum, beras, kentang, dan ubi jalar terbesar di dunia. Gandum dan beras India nomor dua. Masih beruntung Indonesia jadi penghasil beras nomor tiga.
Namun, kita harus mengimpor gandum sebanyak 5 juta ton per tahun. Padahal, secara teknis ataupun ekonomis, kita bisa menanamnya. Sebab, memang ada gandum tropis dari India dan Meksiko. Kita juga pernah mendatangkan dan mengembangkan gandum tropis tersebut, tapi tujuannya sekadar untuk seremonial. Belum lagi kedelai, bungkil, bahkan juga beras. Kalau sekarang ini kita ribut ingin ekspor beras, itu semua tak sebanding dengan impor gandum kita. (F Rahardi Penyair- Wartawan, Kompas, Jumat, 13 Juni 2008)

Petaka Sodom dan Gomora

Flu burung (avian influenza, AI) tiba-tiba menjadi hantu yang sama menakutkan dengan AIDS. Inilah kutukan dari Sodom dan Gomora modern.
Agroindustri unggas modern sebenarnya telah menentang alam, sekaligus menantang hukum Allah. Itulah yang harus diubah, bukan hanya sekadar restrukturisasi menyangkut pembagian kapling.
Flu sebenarnya merupakan penyakit lama. Ada tiga tipe virus influenza: tipe A yang bisa menyerang hewan maupun manusia dan tipe B serta C yang hanya bisa menyerang manusia. Virus tipe A masih terdiri atas beberapa subtipe, yakni H (1-15) dan N (1-9). AI sendiri sudah terdeteksi sejak 1978 di Italia, tetapi AI subtipe baru dengan virus H5N1 pertama kali terdeteksi di Hongkong tahun 1997. Sejak itu, flu burung menjadi mirip AIDS, menimbulkan gejolak atas bisnis perunggasan, sekaligus mengancam hidup manusia.
Ketika AI menyerang unggas, virus ini belum menjadi wabah yang mendunia. Agroindustri perunggasan lalu menjadi massal dan mendunia, dengan benih (DOC/DOD), pakan, hormon pertumbuhan, antibiotik, dan obat-obatan dalam dosis tinggi secara intensif. Inilah pemicu utama terciptanya virus subtipe baru. Terlebih setelah agroindustri peternakan hanya mementingkan keuntungan, tanpa memikirkan dampak negatif yang ditimbulkan.
Wabah sapi gila di Inggris juga kutukan. Virus penyakit gila ini sebenarnya hanya berjangkit pada domba, dan tidak pernah menjadi wabah. Namun, agroindustri peternakan di Inggris terlalu rakus. Limbah dari rumah potong hewan, terutama tulang-tulang—terdiri tulang domba, kambing, sapi, babi, dan ternak lain—digiling dan dicampurkan ke konsentrat. Tujuannya adalah efisiensi. Dampaknya, terjadi degradasi genetik dan penularan penyakit. Penyakit gila yang sebelumnya hanya menyerang domba berjangkit pula ke sapi.


"Nuggets" dan sosis tulang
Pada agroindustri perunggasan, terutama ayam petelur, yang akan dipelihara hanyalah DOC betina. DOC jantan harus dibuang. Jika DOC jantan diberikan kepada ikan, dampak negatifnya hampir tidak ada. Namun sekali lagi demi efisiensi, DOC jantan langsung dimasukkan ke penggilingan dan dicampurkan ke pakan. "Kanibalisme" inilah antara lain yang telah mengakibatkan degradasi genetik, sekaligus ikut berperan memicu terciptanya virus AI subtipe baru.
Namun itu semua belum terlalu mengerikan. Kini, tampaknya konsumen kurang jeli melihat (atau tidak menduga) sosis (sapi dan ayam), nuggets (ayam), dan kornet (sapi), yang dikonsumsi, sebenarnya bukan dari daging, tetapi limbah tulang-belulang. Limbah rumah pemotongan hewan dan rumah pemotongan ayam selalu menghasilkan limbah berupa tulang keras, tulang rawan, sumsum, urat, dan sedikit daging yang masih melekat. Tulang kerasnya dipisahkan dan disebut MBM atau meat and bone meal. Ini merupakan bahan campuran industri pakan ternak, termasuk unggas.
Tulang rawan, urat, sumsum, dan daging disebut meat and debone meal (MDM). Produk inilah yang semula menjadi bahan campuran industri sosis, kornet, dan nuggets. Kini, MDM menjadi bahan utama makanan pabrik itu. Terlebih dalam sosis ayam. Yang dimaksud MDM unggas sebenarnya semua limbah ayam digiling, sebab sekeras apa pun tulang ayam masih amat lunak untuk menjadi sosis dan nuggets. Kita tidak pernah diberi tahu oleh Asosiasi Produsen Makanan Olahan Daging (National Association Meat Producer = NAMPA), berapa persen sebenarnya kandungan MDM pada tiap sosis dan nuggets. Jangan-jangan sudah 100 persen.
Pola industri ternak seperti ini sebenarnya sudah melawan hukum alam, sekaligus hukum Allah. Sapi dan domba aslinya herbivora. Dalam industri modern mereka dipaksa menjadi karnivora, bahkan kanibal. Unggas makan biji-bijian dan kadang serangga serta cacing. Tetapi mereka tidak pernah kanibal. Bahkan elang dan gagak yang karnivora pun tidak pernah kanibal. Tetapi manusia telah memaksa ayam dan itik menjadi kanibal. Bahkan DOC, anak ayam yang baru menetas pun, harus kembali digiling untuk dimakan oleh induk-induk mereka. Ini sudah lebih sadis dibanding kisah Sodom dan Gomora.


Limbah dari AS
Rakyat AS relatif cerdas dalam melihat "penyimpangan" atas hukum alam ini. Selain cerdas, mereka kaya. Itu sebabnya mereka tidak menyantap bagian lain dari ayam, kecuali daging dada. Kulit, daging paha, daging sayap, hati, ampela, tabu disantap. Apalagi kepala, leher, pantat, dan ceker. Semua itu harus dibuang. Lembaga konsumen AS juga ketat hingga limbah itu tidak bisa digiling begitu saja dan dijadikan pakan. Kasus sapi gila di Inggris membuat rakyat AS lebih waspada.
Ke manakah limbah yang masih layak makan itu dibuang? Tentu ke negara yang penduduknya banyak dan ekonominya lemah. Sasaran utama membuang paha dan sayap ayam adalah RRC, India, dan Indonesia. MDM hasil penggilingan limbah unggas juga dibuang ke negara berkembang dan negara miskin. Untuk sarana pembuangan, kota-kota besar di negara berkembang siap dengan restoran cepat saji dan pasar swalayan. Saat memungut sosis ayam dan nuggets, ibu-ibu pasti tak pernah membayangkan, bahan utama produk itu bukan daging, tetapi limbah.
Sebenarnya pemerintah harus mulai memperkuat agroindustri perunggasan tradisional peternakan itik sebagai penyeimbang. Kelembagaan peternakan rakyat ini sebenarnya sudah amat kuat. Hanya alokasi modal dan fasilitas lain tidak pernah tertuju ke mereka, sebab mereka bukan pengusaha yang punya kapling dalam Gabungan Perusahaan Perunggasan Indonesia (Gappi). Jika para peternak itik yang sudah massal pun tak tersentuh perhatian pemerintah, ayam kampung lebih tak terperhatikan lagi. Rakyat memang harus tabah dalam menerima petaka Sodom dan Gomora modern berupa wabah flu burung. (
F Rahardi-Wartawan/Penyair, Kompas, Jumat,19 Januari 2007)