Kamis, Agustus 21

Bintang Kejora dan Nasionalisme Minus Substansi

Seperti siklus yang melingkar, lagi-lagi selembar bendera Bintang Kejora menelan korban di Papua. Di Wamena seorang peserta demonstrasi tewas terbunuh sesaat setelah Bintang Kejora berkibar pada peringatan Hari Pribumi Internasional, 9 Agustus 2008.

Sebelumnya sudah banyak aktivis Papua yang divonis dengan hukuman berat. Jumlahnya pasti akan bertambah karena pemerintah sudah memasang jerat dengan hadirnya Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2007 yang melarang simbol-simbol yang berasosiasi dengan separatisme.

Untuk tahun 2008 saja, setidaknya ada sekitar 10 kasus pengibaran Bintang Kejora di berbagai kabupaten, seperti Manokwari, Timika, Jayapura, Wamena, bahkan Fakfak. Lebih dari 50 orang sudah pernah ditahan. Lebih dari 10 orang kemudian diadili. Pada awal tahun ini dua ibu Papua sempat ditangkap hanya karena menyulam gambar Bintang Kejora di tas yang ia jual di pinggir jalan.

Korban Bintang Kejora yang menjadi terkenal akhir-akhir ini adalah Filep Karma yang divonis oleh Pengadilan Negeri Jayapura 15 tahun penjara dan Yusak Pakage 10 tahun penjara pada tahun 2004. Kasusnya menjadi amunisi untuk terus mempersoalkan Papua di forum internasional. Hasilnya, minggu lalu 40 anggota Kongres AS menekan Presiden RI agar membebaskan Filep Karma dan Yusak Pakage.

Tekanan Kongres AS ini merupakan penanda kegagalan diplomasi publik dan kegagalan Pemerintah Indonesia, seperti janji Presiden Yudhoyono untuk menyelesaikan masalah Papua secara adil dan bermartabat.
Vonis makar, represi yang keras, dan berbagai ancaman sanksi lainnya tak akan membuat orang Papua berhenti mengibarkan Bintang Kejora. Kelompok aktivis yang serius, individu yang iseng, hingga oknum aparat yang bermain-main bisa saja mengibarkan bendera itu atau menyuruh orang lain melakukannya di mana dan kapan saja.

Sudah pasti pula bahwa sumber daya polisi akan terhambur untuk terus mengurus kasus ini. Pengadilan juga akan terus-menerus menjatuhkan hukuman berat bagi pelakunya. Hasilnya, akar masalah Papua yang nyata dan mendesak terabaikan dan negara ini disandera oleh faham nasionalisme yang simbolistis dan cenderung destruktif pada dirinya sendiri.
Soal serius

Sesungguhnya ada soal serius dengan rasionalitas politik para nasionalis Indonesia. Selembar bendera dianggap begitu menakutkan. Untuk menghadapi itu, ratusan personel polisi atau TNI dikerahkan. Seakan-akan republik ini akan segera runtuh bila bendera itu dibiarkan berkibar. Seakan-akan ratusan orang boleh ditangkap, dihilangkan, atau dibunuh demi simbol NKRI itu.

Mereka percaya bahwa masalah Papua seakan-akan selesai jika Bintang Kejora tak lagi berkibar. Para nasionalis banal itu tak menyadari bahwa justru yang bisa mendorong disintegrasi NKRI adalah perspektif nasionalis simbolistis yang terus menghasilkan ketakadilan pada masa lalu dan masa kini.
Jika pemerintah ingin konflik Papua bisa diselesaikan, Bintang Kejora seharusnya dipahami sebagai simbol yang mewakili tuntutan orang Papua atas setidaknya empat soal ketidakadilan: marjinalisasi orang asli Papua, kegagalan pembangunan di Papua, pelanggaran HAM oleh aparat negara, dan kontradiksi status politik dan sejarah yang tak pernah didialogkan.

Para nasionalis Indonesia seharusnya mengubah total perspektifnya dalam melihat Papua. Keindonesiaan tak bisa dijaga hanya bermain dengan simbol bendera, lagu kebangsaan, atau upacara 17 Agustus. Tuntutan orang Papua harus dijawab dengan mengubah cara pemerintah menangani masalah Papua dari perspektif keamanan ke perspektif keadilan; dari perspektif nasionalis yang simbolistis dan militeristis menjadi perspektif yang substansial dan konkret.

Akar persoalan

Nilai keindonesiaan di Papua hanya bisa dibangun dengan kebijakan konkret yang langsung menyentuh akar persoalan di Papua. Keindonesiaan seharusnya dibangun kembali dengan memberdayakan orang asli Papua sebagai subyek utama perubahan dan menghargai identitas dan kebudayaannya, menata pembangunan warga negara di sana dengan paradigma baru, menyelesaikan utang pelanggaran HAM oleh aparat negara pada masa lalu, serta membuka ruang dialog yang substansial dengan para pemimpin Papua.

Dengan berfokus pada penyelesaian empat isu utama di atas, saya percaya wajah keindonesiaan di Papua masih bisa diubah secara bertahap. Rasa percaya dan optimisme rakyat Papua untuk menegosiasi masa lalu, memperbaiki masa kini, dan menyelamatkan masa depan bisa ditumbuhkan kembali. (Muridan S Widjojo Koordinator Papua Road Map, Pusat Penelitian Politik LIPI, Jakarta, Kompas, Jumat, 22 Agustus 2008 00:27 WIB

Bintang Kejora dan Nasionalisme Minus Substansi

Seperti siklus yang melingkar, lagi-lagi selembar bendera Bintang Kejora menelan korban di Papua. Di Wamena seorang peserta demonstrasi tewas terbunuh sesaat setelah Bintang Kejora berkibar pada peringatan Hari Pribumi Internasional, 9 Agustus 2008.

Sebelumnya sudah banyak aktivis Papua yang divonis dengan hukuman berat. Jumlahnya pasti akan bertambah karena pemerintah sudah memasang jerat dengan hadirnya Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2007 yang melarang simbol-simbol yang berasosiasi dengan separatisme.
Untuk tahun 2008 saja, setidaknya ada sekitar 10 kasus pengibaran Bintang Kejora di berbagai kabupaten, seperti Manokwari, Timika, Jayapura, Wamena, bahkan Fakfak. Lebih dari 50 orang sudah pernah ditahan. Lebih dari 10 orang kemudian diadili. Pada awal tahun ini dua ibu Papua sempat ditangkap hanya karena menyulam gambar Bintang Kejora di tas yang ia jual di pinggir jalan.
Korban Bintang Kejora yang menjadi terkenal akhir-akhir ini adalah Filep Karma yang divonis oleh Pengadilan Negeri Jayapura 15 tahun penjara dan Yusak Pakage 10 tahun penjara pada tahun 2004. Kasusnya menjadi amunisi untuk terus mempersoalkan Papua di forum internasional. Hasilnya, minggu lalu 40 anggota Kongres AS menekan Presiden RI agar membebaskan Filep Karma dan Yusak Pakage.
Tekanan Kongres AS ini merupakan penanda kegagalan diplomasi publik dan kegagalan Pemerintah Indonesia, seperti janji Presiden Yudhoyono untuk menyelesaikan masalah Papua secara adil dan bermartabat.
Vonis makar, represi yang keras, dan berbagai ancaman sanksi lainnya tak akan membuat orang Papua berhenti mengibarkan Bintang Kejora. Kelompok aktivis yang serius, individu yang iseng, hingga oknum aparat yang bermain-main bisa saja mengibarkan bendera itu atau menyuruh orang lain melakukannya di mana dan kapan saja.
Sudah pasti pula bahwa sumber daya polisi akan terhambur untuk terus mengurus kasus ini. Pengadilan juga akan terus-menerus menjatuhkan hukuman berat bagi pelakunya. Hasilnya, akar masalah Papua yang nyata dan mendesak terabaikan dan negara ini disandera oleh faham nasionalisme yang simbolistis dan cenderung destruktif pada dirinya sendiri.
Soal serius
Sesungguhnya ada soal serius dengan rasionalitas politik para nasionalis Indonesia. Selembar bendera dianggap begitu menakutkan. Untuk menghadapi itu, ratusan personel polisi atau TNI dikerahkan. Seakan-akan republik ini akan segera runtuh bila bendera itu dibiarkan berkibar. Seakan-akan ratusan orang boleh ditangkap, dihilangkan, atau dibunuh demi simbol NKRI itu.
Mereka percaya bahwa masalah Papua seakan-akan selesai jika Bintang Kejora tak lagi berkibar. Para nasionalis banal itu tak menyadari bahwa justru yang bisa mendorong disintegrasi NKRI adalah perspektif nasionalis simbolistis yang terus menghasilkan ketakadilan pada masa lalu dan masa kini.
Jika pemerintah ingin konflik Papua bisa diselesaikan, Bintang Kejora seharusnya dipahami sebagai simbol yang mewakili tuntutan orang Papua atas setidaknya empat soal ketidakadilan: marjinalisasi orang asli Papua, kegagalan pembangunan di Papua, pelanggaran HAM oleh aparat negara, dan kontradiksi status politik dan sejarah yang tak pernah didialogkan.
Para nasionalis Indonesia seharusnya mengubah total perspektifnya dalam melihat Papua. Keindonesiaan tak bisa dijaga hanya bermain dengan simbol bendera, lagu kebangsaan, atau upacara 17 Agustus. Tuntutan orang Papua harus dijawab dengan mengubah cara pemerintah menangani masalah Papua dari perspektif keamanan ke perspektif keadilan; dari perspektif nasionalis yang simbolistis dan militeristis menjadi perspektif yang substansial dan konkret.
Akar persoalan
Nilai keindonesiaan di Papua hanya bisa dibangun dengan kebijakan konkret yang langsung menyentuh akar persoalan di Papua. Keindonesiaan seharusnya dibangun kembali dengan memberdayakan orang asli Papua sebagai subyek utama perubahan dan menghargai identitas dan kebudayaannya, menata pembangunan warga negara di sana dengan paradigma baru, menyelesaikan utang pelanggaran HAM oleh aparat negara pada masa lalu, serta membuka ruang dialog yang substansial dengan para pemimpin Papua.
Dengan berfokus pada penyelesaian empat isu utama di atas, saya percaya wajah keindonesiaan di Papua masih bisa diubah secara bertahap. Rasa percaya dan optimisme rakyat Papua untuk menegosiasi masa lalu, memperbaiki masa kini, dan menyelamatkan masa depan bisa ditumbuhkan kembali. (Muridan S Widjojo Koordinator Papua Road Map, Pusat Penelitian Politik LIPI, Jakarta, Kompas, Jumat, 22 Agustus 2008 00:27 WIB

Selasa, Juli 22

Jolie

Oleh: Arswendo Atmowiloto

ANGELINA Jolie, selebritas yang memiliki "bibir paling sensual" punya nama besar di dunia hiburan Amerika - dan tentu saja dunia. Dalam usianya yang 32 tahun, banyak gosip mengenai dirinya: saat berciuman dengan saudara kandungnya, tato di, maaf, bokongnya, dan juga perhatian dan kegiatan sosialnya. Baru-baru ia menulis di harian bergengsi The Washington Post, mengenai perlunya membantu pengungsi Irak yang terceraikan dari Tanah Airnya.
Jolie dengan lugas meminta bantuan finansial dan material untuk nasib lebih dari 4 juta manusia yang terlunta. Dari dua pengungsi dalam negeri, lebih dari separuhnya masih di bawah usia 12 tahun. Sasaran juga jelas: Amerika harus membantu segera, juga Perserikatan Bangsa-bangsa. Harus segera membantu, dan tetap membantu.

Ia sendiri, dalam kapasitasnya sebagai pribadi sudah melakukan itu. Bahkan juga mengadopsi anak-anak dari para pengusngi. Ada yang menggembirakan dalam melihat posisi selebritas di negeri yang "sangat individual" dan "lu-gue" ini. Seorang artis, mempunyai perhatian dan tindakan untuk pengungsi di negeri lain.
Kegigihan Jolie, dan nama besarnya di dunia artis, dipergunakan untuk membantu penderitaan orang lain. Bukan untuk dinikmati sendiri. Dan ia tidak sendiri. Seorang Oprah Winfrey, melakukan hal yang lebih besar, dengan menyediakan pemukiman, menyediakan sekolah dan berbagai rumah sakit di negeri-negeri Afrika. Melalui program acara yang dipandu, dengan menggandeng perusahaan-perusahaan besar dunia. Masyarakat bisa membantu langsung, bisa dengan berbelanja merek-merek tertentu yang memang keren dan beken. Mereka yang berbelanja sekian, berarti menyumbang sekian persen. Kegiatan ini dimaksimalkan dengan menggandeng selebritas lain, dengan nama-nama besar, dan ditayangkan dalam acaranya. Bukan sekali dua, bukan hanya satu jenis program. Kegiatannya diliput media seluruh dunia-termasuk para donator yang tergerak hatinya. Hasilnya dilaporkan kembali, disiarkan.
Dunia hiburan di Amerika Serikat yang tampil "wah", "glamour abis", pada titik tertentu menemukan keseimbangannya dengan upaya-upaya kemanusiaan. Termasuk acara seperti American Idol yang diadaptasi di banyak negara, juga sekaligus membantu masyarakat yang kekurangan. Acara-acara pemilihan, sampai panggung yang spektakuler juga melibat penyanyi-penyanyi kondang dengan nama besar. Untuk digandeng bersama, untuk berpentas bersama, dan "menggalang dana". Termasuk dari kalangan politisi, dan Presiden Bush pun nongol. Hasil pengumpulan dana itu dilontarkan kembali ke masyarakat, dengan tekad bahwa tahun ini harus lebih banyak dari tahun sebelumnya. Ratusan juta dolar itu terdermakan, selain untuk kebutuhan kegiatan itu sendiri.
Para selebritas ini - dan beberapa nama lain lagi selain mereka, tidak ramai-ramai masuk partai tertentu sebelumnya. Tidak juga mencari kursi di DPR atau pemerintahan. Mereka tetap menggunakan kuasanya sebagai selebritas, sebagai "penarik perhatian", sebagai bagian dari popularitasnya sebagai artis. Mereka para diva dalam arti yang utuh. Dipuja, dielukan, dan memberi perhatian balik. Pencitraan dirinya menemukan keseimbangan.

Hal lain yang mengagumkan - kalau bisa dijadikan contoh kerja dan bukan hanya mengagumi-adalah para selebritas ini pada titik tertentu melakukan kerja sama dengan selebritas lainnya. Mereka yang bersaing keras dalam keartisan yang sama bidangnya, bisa saling bergandengan tangan. Ini saja sudah menakjubkan kalau diingat masing-masing mempunyai pribadi yang sulit, sangat sibuk, dan mempunyai target sendiri-sendiri. Menyatukan mereka yang jumlahnya puluhan, pastilah memerlukan koordinasi yang tidak sederhana. Tapi toh bisa juga.

Nama besar para selebritas ini juga memperlihatkan kualitas hidup ketika memperhatikan dan membantu sesama - yang mungkin tak mengenalnya. (dipetik dari Jurnal Indonesia, 5 Meret 2008)

Daging Makanan Bergizi Kelas Satu, Benarkah?

By: Chindy Tan

”Bukankah daging tetap dibutuhkan tubuh untuk kesehatan?” Demikianlah kepercayaan yang sangat mengakar hingga detik ini, yakni daging sebagai sumber protein kelas satu, sumber kalsium, sumber lemak, sumber vitamin B12 dan sumber zat besi.
Salah satu akar kepercayaan ini bersumber dari sebuah studi antara tahun 1929-1950 dengan menggunakan asam amino yang dimurnikan (padahal makanan yang kita makan bukanlah asam amino yang dimurnikan). Kemudian, penelitian lanjutnya dilakukan pada tikus, yang ternyata tingkat kebutuhan proteinnya paling tinggi dari semua mamalia. Sebagai patokan, jumlah kalori protein yang terkandung dalam air susu tikus adalah 49%, sedangkan pada manusia jumlah kalori protein yang terdapat pada ASI hanyalah 5%.
Mengapa Jadi Berlebih?
Patut dicermati bahwa kebutuhan tertinggi tubuh manusia akan protein seumur hidupnya adalah masa usia 0-5 tahun. Pada masa paling krusial 0-6 bln di mana ASI secara eksklusif diberikan, ASI sendiri ‘hanya’ mengandung 5% kalori protein, Terkecuali masa menyusui, American Journal of Clinical Nutrition mematok rata-rata asupan 2,5% kalori protein per hari, dan banyak populasi yang hidup dengan baik-baik saja pada angka ini. Logis saja, karena pada masa kebutuhan tertingginya pun tubuh kita hanya dipasok 5% kalori protein dari ASI. Tentunya setelah lewat masa pertumbuhan, tubuh kita tidak membutuhkan sebanyak itu lagi, atau cukup di bawah 5% kalori protein.
Bukankah hal yang janggal bila National Egg Board, National Dairy Council, National Livestock, dan Meat Board Amerika menambah 30% dari angka yang harusnya kurang dari 6% (“Diet For A New America”)? Batas aman atau RDA 30% inilah yang disoroti sebagai dasar propaganda industri ternak. Kebijakan tersebut lantas dituangkan ke dalam kurikulum pendidikan. Bermula di Amerika, propaganda daging, telur, susu sebagai sumber protein utama ini pun mendunia, termasuk di Indonesia. Bangku sekolah kita tak luput dari jangkauan propaganda ini. Konsep yang sudah sangat akrab sampai ke sumsum kita, bahwa daging adalah sumber terbaik untuk protein.
Kejanggalan ini terjawab pada uraian Dr. David Reuben yang mempertanyakan: siapakah yang sesungguhnya memperoleh manfaat ekstra 30% batas aman tersebut? Beliau menjawab, “Mereka yang menjual daging, ikan, keju, telur, ayam dan semua sumber-sumber protein yang bergengsi dan mahal lainnya. Jika Anda adalah keluarga Amerika umumnya, Anda harus mengeluarkan uang 40 USD per bulan untuk memompa asupan protein yang sebenarnya tidak Anda perlukan. Pengeluaran ini, memberikan 36 miliar USD per tahun ke kantong penjual.” (Diet For A New America – John Robbins)
Business As Usual
Era globalisasi memberi jalan lapang bagi negara-negara industri yang kuat modal dan kuat teknologi untuk menguasai harkat hidup di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Mari lebih jeli menganalisa benang merah tiap fakta berikut: Makanan merupakan 11% dari keseluruhan komoditi perdagangan global, proporsi yang berada di atas perdagangan minyak bumi (Globalization and Human Nutrition, 2001). Produk makanan yang dihasilkan dari produksi pangan yang berlebihan di negara-negara industri mau tak mau harus dipasarkan. Namun karena ‘demand’-nya yang sudah statis (baca: jenuh) atau inelastik di negara industri, maka pilihan pasarnya adalah negara-negara berkembang yang produk pangannya masih ‘tradisional’ dan ‘terbatas’. Untuk ini industri makanan di Amerika Serikat mengeluarkan dana 30 miliar dolar setiap tahunnya untuk promosi (Bulletin of the World Health Organization, 2002). Strategi promosi yang digunakan memberi citra daging sebagai makanan bergengsi, modern dan gaul. Rumus ”Tiga P” digunakan: placing, pricing dan promotion. Hasilnya, menjamur dan mengguritanya bisnis makanan cepat saji hampir di seluruh dunia.
Dampak Terhadap Kesehatan
Prof.dr.Siti Fatimah Muis, M.Sc, SpGK dalam kajiannya,”Globalisasi Pangan: Dampaknya Terhadap Gizi dan Kesehatan” menuliskan bahwa setelah Perang Dunia II, negara berkembang mengalami transisi epidemiologi yakni, menurunnya penyakit infeksi seperti TBC, tifus, diare, lepra dan mulai munculnya penyakit degeneratif seperti penyempitan pembuluh darah jantung atau otak, penyakit gangguan metabolisme dan keganasan. Dan sekarang telah memasuki masa transisi berikutnya adalah transisi gizi atau munculnya masalah gizi ganda. Artinya, masalah gizi berlebih pada saat yang bersamaan muncul dengan masalah gizi kurang. Kelebihan asupan energi pada anak-anak dan remaja, utamanya dari makanan berlemak jenuh tinggi (daging, telur, dan susu) di atas 30% dari keseluruhan asupan energi sehari-hari ternyata juga dapat mengakibatkan kenaikan kolesterol, penebalan/pengerasan dinding pembuluh darah (atherosklerosis) dan diabetes tipe-2 seperti yang dialami usia paruh baya (Rapid Westernization of children’s blood cholesterol in 3 countries, 2000). Pada abad ke-20 diabetes tipe 2 (non-insuline dependent) hanya terjadi pada usia paruh baya dan tua. Namun, tren sekarang menunjukkan penyakit tersebut mulai banyak diderita oleh anak maupun remaja. Terjadi peningkatan empat kali lipat kejadian diabetes tipe 2 pada anak usia anak 6-15 tahun yang terbukti berkorelasi dengan kelebihan berat badan (Type 2 diabetes in young, 2004)
Sesekali saat membesuk rekan yang sakit di RS, cobalah adakan survei kecil. Berapa banyak pasien penderita stroke, serangan jantung, hipertensi, diabetes dan kanker dan yakinlah, sepuluh dari sepuluh penderita tersebut dianjurkan oleh dokter untuk mengurangi atau berpantang daging. Begitu sederhana pesan yang bisa diamati dari sekeliling kita tanpa perlu studi atau riset untuk sampai pada pemahaman bahwa: sederet penyakit inilah yang sebenar-benarnya ’diberikan’ oleh daging kepada tubuh manusia.
*Lagi, satu sumbangan dari Chindy Tan yang dikerjakan dengan begitu sigap untuk kita semua yang masih penasaran soal isu gizi daging dan kesehatan. Saya pribadi merekomendasikan buku "New Diet For A New America" bagi yang ingin mengulik lebih lanjut dan lebih mendalam. Thank you, Chindy, untuk sumbangannya. * Gambar diambil dari pump.tuthill.com (dipetik dari dee-idea.blogspot.com)

Selasa, Juni 24

Krisis BBM, Jarak, dan Algae

Krisis bahan bakar minyak global ikut memukul Indonesia. Alternatif substitusi BBM pun dicari. Dan tanaman jarak sempat menyedot perhatian. Benarkah jarak bisa mengatasi soal BBM? Jangan-jangan kebijakan yang dibuat bisa membuat pemerintah kian tak populer. Mengapa?
Dari tiap hektar kebun jarak pagar (Jatropha curcas), dalam setahun hanya menghasilkan 1.500 liter minyak. Ini lebih baik dibanding biji lobak yang menghasilkan 1.000 liter dan biji kubis (mustard) 1.300 liter. Namun, jarak masih kalah unggul dari kelapa (2.200 liter), sawit (Crude Palm Oil/CPO) (5.800 liter), dan terlebih lagi dari algae yang produktivitasnya mencapai 40.000 hingga 120.000 liter per hektar per tahun. Produktivitas algae benar-benar luar biasa dibanding CPO sekalipun.
Ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tetirah di resor Losari, Jawa Tengah, memang ada laporan tentang jarak, metanol (dari tetes tebu), dan CPO. Tetapi perhatian SBY dan pers terfokus ke jarak. Alam pikiran bawah sadar kita beranggapan, ada tumbuhan ajaib yang bisa mengatasi masalah dan bisa memakmurkan rakyat Indonesia yang terus dirundung bencana.
Dalam pertemuan informal dengan para menteri di Losari itu, tidak ada sedikit pun info tentang algae. Hingga media, termasuk Kompas, terkecoh mempromosikan jarak pagar sebagai komoditas yang bisa mengatasi krisis BBM sekaligus memakmurkan petani Indonesia. Sejak Kompas memuat informasi tentang jarak (11-12/7/2006), banyak pertanyaan ihwal komoditas itu.
Plus minus jarak
Meski produktivitasnya kalah dari kelapa dan CPO, jarak tetap memiliki keunggulan sebab budidaya dan pascapanennya amat sederhana hingga bisa dilakukan dalam skala rumah tangga. Jarak juga bisa digunakan untuk bahan bakar sehingga tidak bersaing sebagai produk pangan, seperti kelapa dan CPO. Jarak memiliki keunggulan, dapat dikembangkan di kawasan kering dan tandus, misalnya di Provinsi NTT.
Kelemahan jarak adalah produktivitasnya. Produktivitasnya justru menurun jika dibudidayakan di lahan subur, di kawasan basah. Jika jarak ditanam di Pulau Jawa, daunnya akan rimbun tapi buahnya sedikit. Selain itu, harga biodiesel dari jarak harus lebih murah dari solar. Jika harga solar Rp 4.300 per liter, minyak jarak hanya bisa dijual Rp 4.000 di tingkat konsumen atau Rp 3.500 di tingkat produsen. Dengan produktivitas 1.500 liter per hektar per tahun, pendapatan bruto agroindustri jarak Rp 5.250.000 per hektar per tahun.
Nilai rata-rata lahan di Jawa sudah di atas Rp 10.000 per meter persegi atau Rp 100.000.000 per hektar. Dengan suku bunga deposito lima persen per tahun, jika lahan dijual dan uangnya dideposito, maka hasil bersihnya Rp 5.000.000 per tahun tanpa harus kerja dan menanggung risiko.
Masih banyak komoditas yang hasilnya lebih tinggi dari jarak. Komoditas pangan atau hortikultura, dengan masa panen 3-4 bulan (4-3 kali panen per tahun), hasil lahan itu pasti lebih tinggi.
Informasi inilah yang disembunyikan para promotor jarak. Rakyat, bupati, gubernur, menteri, bahkan presiden, tidak diberitahu bahwa pendapatan bruto agroindustri jarak hanya Rp 5.250.000 per hektar per tahun.
Pendapatan ini tidak feasible untuk disodorkan ke rakyat. Sebab bagi mereka, lebih menguntungkan memproduksi CPO atau gula tebu dengan hasil sampingan biodiesel dan metanol.
Keunggulan "Algae"
Masyarakat awam biasa menyebut algae sebagai lumut. Tumbuhan purba ini sering mengganggu akuarium dan kolam renang. Itu adalah algae bersel banyak. Algae yang rendemen minyaknya tinggi dan pertumbuhannya cepat adalah tumbuhan bersel satu, terutama yang hidup di laut. Algae bersel satu ini tidak berakar dan tidak berdaun, tetapi berklorofil. Ia juga lazim disebut microalgae, phytoplankton, microphytes, planktonic algae, atau cyanobacteria. Produktivitas algae dalam menghasilkan biodiesel bisa tinggi karena beberapa faktor.
Algae amat efektif dalam mengubah nutrisi dan karbon dioksida (CO2) dari air, dengan bantuan sinar matahari hingga menjadi energi. Proses penyerapan nutrisi, CO2, dan sinar matahari pada algae berlangsung sederhana, cepat, dan murah. Beda dengan proses serupa pada tanaman tingkat tinggi.
Karena bisa hidup di air laut maupun tawar, budidaya algae bisa dilakukan dengan cara terbuka dan ekstensif di perairan laut yang dikelilingi karang (atol), danau, kolam, atau kanal. Budidaya algae juga bisa dilakukan secara tertutup dengan menaungi kolam, kanal, atau bak menggunakan plastik (greenhouse), dan mengatur suplai nutrisi. Cara tertutup yang lebih efisien adalah dengan photobioreaktor. Sistem ini merupakan pengembangan tangki bioreaktor biasa yang diberi tambahan sumber sinar buatan.
Kelebihan algae dibanding bahan nabati lain adalah pengambilan minyaknya tanpa perlu penggilingan. Minyak algae (alga oil) bisa langsung diekstrak dengan bantuan zat pelarut, enzim, pengempaan (pemerasan), ekstraksi CO2, ekstraksi ultrasonik, dan osmotic shock. Panen algae bisa dilakukan dengan aneka cara, mulai dari penyaringan mikro, sentrifugal (pemutaran), dan flokulasi (flocculation). Flokulasi adalah pemisahan algae dari air dengan bantuan zat kimia.
Keunggulan Indonesia
Budidaya microalgae secara massal sudah dilakukan antara lain di Danau Texcoco di bagian tengah Meksiko. Jenis algae yang dibudidayakan adalah Spirulina (Arthospira platensis), jenis algae hijau/biru (cyanobacteria). Budidaya algae di Meksiko ini bukan untuk memproduksi biodisel, tetapi sebagai bahan pangan. Dibanding Meksiko, Indonesia lebih unggul karena perairan lautnya lebih luas dari daratan. Budidaya algae secara ekstensif di laut lebih murah dibanding di darat.
Algae tidak hanya berpotensi menghasilkan biodiesel. Komoditas ini bisa menjadi bahan pangan, pakan ternak, biomassa yang langsung bisa dibakar, untuk industri farmasi, plastik, metanol, guna mengatasi pencemaran lingkungan. Sayang, komoditas hebat ini suaranya "nyaris tak terdengar". Yang gencar dipublikasikan justru jarak, yang produktivitasnya rendah.
Keputusan SBY untuk mengembangkan jarak mestinya tidak terjadi jika saja diberikan informasi lengkap tentang potensi bahan nabati, untuk biodiesel dan metanol. Mulai dari jarak, kelapa, CPO, singkong, ubi jalar, dan algae. Komoditas ini merupakan masa depan pengganti BBM. Indonesia dengan laut tropisnya yang luas berpotensi memproduksi BBM dari algae. (F. Rahardi, Kompas, 25 Feb 2007)

Soeharto dalam Sastra

Setiap kali penduduk Kota Bebek membuka koran, yang ingin mereka ketahui hanya satu: apakah hari ini Paman Gober sudah mati. Setiap pagi mereka berharap akan membaca berita kematian Paman Gober, di halaman pertama. (Seno Gumira Ajidarma, 2001:11)
Soeharto, mantan presiden Republik Indonesia yang berkuasa 32 tahun itu, juga dibicarakan dalam karya sastra. Adalah tidak mungkin tidak mencatat Soeharto dalam sastra, dengan kekuasaannya yang selama itu.
Hanya, pada karya sastra, Soeharto dibicarakan secara realistis, agak transparan, bahkan sindirannya mudah dipahami, ke mana mata pisau kata-kata itu tertuju. Tanpa pembaca mengalami kesulitan memahami siapa yang dimaksud oleh karya tersebut.
Dengan demikian, ketika membaca karya sastra yang menyinggung Soeharto di dalamnya, pembaca tidak begitu kesukaran dan dengan cepat tahu bahwa obyek yang dibicarakan dalam karya sastra adalah Soeharto. Mengapa begitu? Apa yang membedakannya dengan laporan jurnalistik, sejarah, artikel, atau karya-karya akademik?
Pertama, karya sastra mengajak kita untuk memahami bukan untuk hanya mengetahui. Jika hanya untuk mengetahui, maka semua orang akan dapat mengetahui hanya sekadar dengan melihat faktanya. Namun, untuk memahaminya, ia harus menjalani perjalanan rasionalitas obyektif ke empirisme subyektif, dari pengetahuan pada kearifan kemanusiaan, mengajak untuk lebih bijak dan adil dalam memahami kehidupan.
Dengan demikian, dalam sastra tentang ”Suharto”, bukan lagi soal transparansi atau sindiran ”yang begitu jelas” itu yang menjadi persoalan, tetapi masalah: ”ada apa di balik semua itu”?
Semua ironi, satir, dan tragedi dalam sastra tentang ”Suharto” pun kemudian mengajak kita untuk masuk pada kearifan, pada tanggung jawab yang kritis dan waspada. Dengan dasar pemikiran itu, maka sastra bukan untuk mengklaim, memveto, mendiskreditkan, memojokkan, menghina, menjatuhkan, berpihak, pada selain nilai-nilai kemanusiaan. Sebaliknya, bila ada yang bersifat demikian, ia sudah merupakan propaganda, slogan, doktrin, atau dogma.
Absurditas sastra Soeharto
Alasan kedua yang membedakan adalah sebuah premis tentang bahasa sastra yang ditentukan oleh karakter dan sifat kekuasaan. Kekuasaan yang adil biasanya melahirkan karya sastra yang tidak vulgar. Namun, ketika suatu kekuasaan bebal, tebal muka, muka tembok, tidak rasional dan zalim, maka karya sastra pun akan bicara dengan bahasa yang tidak halus, bahkan kasar, penuh dengan metafor yang absurd.
Ketika Soeharto berkuasa, karya sastra penuh dengan metafor yang absurd, semakin kuat kekuasaannya maka akan semakin rumit metafor dan absurditas yang digunakannya. Dapat dipahami mengapa tahun 70-an karya sastra Indonesia dikuasai oleh jenis sastra absurditas, sedangkan mendekati tahun 90-an dan 2000-an, absurditas semakin kurang dan metafornya semakin transparan karena kekuasaan Soeharto semakin lemah.
Memang ada suatu budaya yang tabu membicarakan penguasa mereka, kendati penguasa itu zalim dan menganiaya. Akan tetapi, perilaku literer itu hadir, bisa jadi karena budaya feodalistik sudah begitu mengakar, atau begitu kuatnya tangan kekuasaan menenggelamkan publiknya.
Alasan ketiga, karya sastra berbicara pada tataran tafsir, majas, makna yang ambigu, bukan pada tataran fakta obyektif atau validitas. Oleh sebab itu, Soeharto yang dibicarakan oleh karya sastra bukanlah Soeharto sesungguhnya, tetapi Soeharto dalam pengertian makna dan tafsir. Yang mengajak dan membawa kita pada hikmah tentang keadilan, kebenaran, atau setidaknya tentang manusia itu sendiri.
Soeharto dalam Seno
Salah satu karya sastra yang membicarakan Soeharto dengan bagus dan kuat pada masa kejayaan penguasa Orde Baru itu mungkin adalah cerpen Paman Gober (Republika, 30-10-1994) karya Seno Gumira Adjidarma. Cerpen yang dibacakan Butet Kertaradjasa pada acara Federasi Teater Indonesia (FTI) Award 2007 di Teater Studio, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, memang salah satu karya terbaik Seno yang termaktub dalam kumpulan Iblis Tidak Pernah Mati (1999). Ia seperti memprediksi realitas Soeharto lebih satu dekade kemudian. Ketika penguasa 32 tahun itu mengalami sakratulmaut di rumah sakit.
Memang tak cuma Seno yang mengangkat Soeharto ke dalam karya-karya fiksinya. Setidaknya ada 17 cerpen yang dianggap membicarakan Soeharto, dalam ungkapan yang bermacam dan dibukukan oleh M Shoim Anwar (Soeharto dalam Cerpen Indonesia, 2001). Ada tersebut antara lain Menembak Banteng (F Rahardi); Diam (Moes Loindong); Tembok Pak Rambo (Taufik Ikram Jamil); Saran ”Groot Majoor” Prakosa (YB Mangunwijaya); Bukan Titisan Semar (Bonari Nabonenar); Kaki Druhun (Bonari Nabonenar); ”Masuklah ke Telingaku, Ayah” (Triyanto Triwikromo).
Lalu, juga ada Monolog Kesunyian (Indra Tranggono); Celeng (Agus Noor); Senotaphium (Agus Noor); Gadis Kecil dan Mahkota Raja (Sunaryono Basuki Ks); Menari di Atas Mayat (Indra Tranggono); Negeri Angin (M Fudoli Zaini); Putri Jelita dan Terbunuhnya Tuan Presiden (Joni Ariadinata); serta Orang Besar (Jujur Prananto). Tapi, di luar itu, masih cukup banyak cerpen atau karya sastra lain yang tersebar dan diterbitkan dalam berbagai media dan mengangkat figur Soeharto di dalamnya.
Pada sejumlah karya itu, kita mungkin dapat menangkap bagaimana masyarakat—yang diwakili pengarangnya—melihat dan mengapresiasi sebuah sosok yang bernama Soeharto. Dengan itu pula, barangkali kita juga bisa menengarai bentuk kekuasaan macam apa sebenarnya yang telah digagas dan dipraktikkan oleh Jenderal yang Tersenyum itu. Namun, apa pun, semua itu akhirnya hanyalah ”tanda”, di mana setiap orang bebas membaca, menafsirkan atau menarik signifikansinya. Entah sebagai ironi, satir, tragedi, peringatan, dan pelajaran, tetapi jelas, ia akan berguna bagi mereka, ”bagi orang orang-orang yang berpikir”. Andakah juga?

(Fadlillah Malin Sutan Kayo Dosen dan Peneliti di Pusat Penelitian Sastra Indonesia, Universitas Andalas, Padang. Tinggal di Kampuang Batima, Nagari Soengai Jamboe, Kompas, Sabtu, 1 Maret 2008)

Krisis Pangan sebagai Berkah

Jakarta, Singapura, Tokyo, dan New York tidak punya sawah, tidak punya ladang, dan tidak dihuni petani. Namun, beras dan gandum menumpuk di sini dengan harga relatif murah. Sementara itu, petani terpaksa harus membeli produk dan jasa para penghuni metropolis dengan harga sangat tinggi.
Tahun-tahun 1998 sampai 2000 selalu disebut sebagai periode krisis moneter (krismon). Makna dari krismon adalah harga produk kebutuhan pokok melambung, PHK terjadi di mana-mana, dan nilai kurs rupiah terhadap dollar AS mencapai Rp 16.000 per 1 dollar. Bagi masyarakat Jakarta, Surabaya, dan metropolis di Jawa, periode 1998-2000 adalah krisis. Sebaliknya, para petani cengkih, lada, pala, jahe, pepaya, dan juga padi menganggap tahun 1998-2000 sebagai berkah.
Sebab, harga cengkih, lada, dan pala, yang sebelumnya di bawah Rp 20.000 per kg, pada tahun 1999 melambung sampai di atas Rp 100.000 per kg. Pepaya, yang sebelumnya hanya Rp 50 per kg, naik menjadi Rp 250 per kg. Petani menjadi sangat makmur. Pasar utama, seperti mobil, sepeda motor, kulkas, dan televisi, bergeser ke sentra pertanian. Karena produksi mobil dan sepeda motor baru sangat terbatas, yang bekas pun laris manis di Sumatera, Kalimantan, dan terutama Sulawesi.
Sayangnya petani tidak punya media massa. Wartawan pun bukan bagian dari petani, peternak, nelayan, dan perajin yang tahun- tahun itu menerima berkah. Wartawan termasuk pihak yang mengalami krisis. Sebab, halaman media cetak menyusut akibat harga kertas naik. Jam siaran radio dan jam tayang televisi dibatasi. Iklan tersendat. Nafkah wartawan terancam. Maka isu yang diekspos media massa nasional adalah krisis ekonomi. Bukan berkah bagi petani.
Ketakadilan nilai tukar
Perkembangan sarana komunikasi dan transportasi telah menciptakan tidak adilnya nilai tukar. Petani menjual gabah dengan harga Rp 1.000 per kg. Meskipun harga dasar yang ditetapkan pemerintah mencapai Rp 2.000 per kg, harga jagung dan singkong malahan lebih rendah lagi. Lalu, petani harus membeli mi dan roti, yang nilai per kilogramnya mencapai Rp 5.000. Belum lagi kalau petani memerlukan sabun, batu baterai, minyak goreng, dan lain-lain, yang harganya beberapa kali lipat harga padi.
Salah satu medium yang mengakibatkan nilai tukar tak seimbang adalah radio dan televisi. Petani yang tinggal di kampung paling pelosok pun sudah bisa mendengarkan radio dan menonton siaran televisi. Hingga anak-anak petani itu harus membeli CD atau DVD musik dan film dari bintang idola mereka. Mereka juga perlu celana jin, t-shirt, deodoran, sampo, sepeda motor, telepon seluler, dan semua pernik yang tiap hari muncul di layar televisi. Meski nilai tukar tak seimbang, ini masih lumayan.
Yang terjadi di banyak tempat, terutama di pinggiran kota atau di sekitar kawasan wisata, petani menjual tanah mereka untuk dibelanjakan ”produk kota”. Alat produksi itulah yang mereka korbankan untuk ditukar dengan simbol-simbol metropolis. Kemubaziran nasional lalu terjadi. Sawah berubah menjadi vila yang hanya dihuni seminggu sekali. Petani yang sebelumnya produsen pangan, sekarang menjadi penunggu vila yang tak perlu lagi memikirkan produktivitas
.
Ketakadilan global
Jakarta selama ini dianggap sebagai kekuatan ekonomi nasional. Hingga ketakadilan bisa mudah diciptakan agar penghuni metropolis ini tetap bisa menikmati pangan murah. Sementara itu, produk barang dan jasa yang mereka hasilkan dihargai sangat tinggi di pelosok kampung. Meski terjadi ketakadilan, ini semua masih bisa dianggap normal. Kalau Singapura yang negeri pulau atau Jepang yang negara industri mengimpor sandang dan pangan, itu normal.
Kalau kemudian negara berkembang menyuplai produk pangan ke Singapura dan Jepang, itu juga normal. Meski produk pangan tersebut tak dihargai setinggi produk barang dan jasa dari negeri maju tersebut. Kalau sekarang ini dianggap sedang ada krisis pangan, krisis itu berlaku untuk penduduk metropolis. Bagi petani, krisis pangan adalah berkah. Kalau harga beras melambung sampai Rp 10.000, itu berkah bagi petani. Sebab, penduduk metropolis memang harus membayar mahal kepada para petani.
Namun, Indonesia tidak mungkin menangkap peluang krisis pangan global ini sebagai berkah. Idealnya, Indonesia mengekspor produk pangan ke AS meski dengan harga murah, lalu AS menjual produk barang dan jasa berteknologi tinggi ke negeri kita. Misalnya, pesawat terbang, komputer, musik, dan film Hollywood. Yang terjadi, kita justru impor gandum, kedelai, bungkil, induk ayam ras, susu bubuk, kapas, apel, dan jeruk dari AS.
RRC dan India
AS sebenarnya lebih senang mengekspor produk sandang serta pangan mereka ke RRC dan India. Sebab, populasi penduduk dua negeri ini di atas 1 miliar jiwa. Dua negeri raksasa ini ternyata cukup cerdik. Mereka bisa surplus sandang dan pangan. Belajar dari zaman Mao yang lapar dan susah, RRC kemudian menanam gandum, padi, jagung, kentang, ubi jalar, bahkan juga biji bayam (amaranth grain). Mereka menanam kapas, rami, dan canabis untuk sandang.
Canabis sebenarnya ganja, tapi bukan untuk memproduksi narkoba, melainkan diambil serat batangnya untuk sandang dan bijinya untuk bungkil. India selain punya gandum dan beras juga rajin mengurus aneka umbi-umbian, terutama suweg (Amorphophallus paeoniifolius). Sekarang RRC adalah penghasil gandum, beras, kentang, dan ubi jalar terbesar di dunia. Gandum dan beras India nomor dua. Masih beruntung Indonesia jadi penghasil beras nomor tiga.
Namun, kita harus mengimpor gandum sebanyak 5 juta ton per tahun. Padahal, secara teknis ataupun ekonomis, kita bisa menanamnya. Sebab, memang ada gandum tropis dari India dan Meksiko. Kita juga pernah mendatangkan dan mengembangkan gandum tropis tersebut, tapi tujuannya sekadar untuk seremonial. Belum lagi kedelai, bungkil, bahkan juga beras. Kalau sekarang ini kita ribut ingin ekspor beras, itu semua tak sebanding dengan impor gandum kita. (F Rahardi Penyair- Wartawan, Kompas, Jumat, 13 Juni 2008)

Petaka Sodom dan Gomora

Flu burung (avian influenza, AI) tiba-tiba menjadi hantu yang sama menakutkan dengan AIDS. Inilah kutukan dari Sodom dan Gomora modern.
Agroindustri unggas modern sebenarnya telah menentang alam, sekaligus menantang hukum Allah. Itulah yang harus diubah, bukan hanya sekadar restrukturisasi menyangkut pembagian kapling.
Flu sebenarnya merupakan penyakit lama. Ada tiga tipe virus influenza: tipe A yang bisa menyerang hewan maupun manusia dan tipe B serta C yang hanya bisa menyerang manusia. Virus tipe A masih terdiri atas beberapa subtipe, yakni H (1-15) dan N (1-9). AI sendiri sudah terdeteksi sejak 1978 di Italia, tetapi AI subtipe baru dengan virus H5N1 pertama kali terdeteksi di Hongkong tahun 1997. Sejak itu, flu burung menjadi mirip AIDS, menimbulkan gejolak atas bisnis perunggasan, sekaligus mengancam hidup manusia.
Ketika AI menyerang unggas, virus ini belum menjadi wabah yang mendunia. Agroindustri perunggasan lalu menjadi massal dan mendunia, dengan benih (DOC/DOD), pakan, hormon pertumbuhan, antibiotik, dan obat-obatan dalam dosis tinggi secara intensif. Inilah pemicu utama terciptanya virus subtipe baru. Terlebih setelah agroindustri peternakan hanya mementingkan keuntungan, tanpa memikirkan dampak negatif yang ditimbulkan.
Wabah sapi gila di Inggris juga kutukan. Virus penyakit gila ini sebenarnya hanya berjangkit pada domba, dan tidak pernah menjadi wabah. Namun, agroindustri peternakan di Inggris terlalu rakus. Limbah dari rumah potong hewan, terutama tulang-tulang—terdiri tulang domba, kambing, sapi, babi, dan ternak lain—digiling dan dicampurkan ke konsentrat. Tujuannya adalah efisiensi. Dampaknya, terjadi degradasi genetik dan penularan penyakit. Penyakit gila yang sebelumnya hanya menyerang domba berjangkit pula ke sapi.


"Nuggets" dan sosis tulang
Pada agroindustri perunggasan, terutama ayam petelur, yang akan dipelihara hanyalah DOC betina. DOC jantan harus dibuang. Jika DOC jantan diberikan kepada ikan, dampak negatifnya hampir tidak ada. Namun sekali lagi demi efisiensi, DOC jantan langsung dimasukkan ke penggilingan dan dicampurkan ke pakan. "Kanibalisme" inilah antara lain yang telah mengakibatkan degradasi genetik, sekaligus ikut berperan memicu terciptanya virus AI subtipe baru.
Namun itu semua belum terlalu mengerikan. Kini, tampaknya konsumen kurang jeli melihat (atau tidak menduga) sosis (sapi dan ayam), nuggets (ayam), dan kornet (sapi), yang dikonsumsi, sebenarnya bukan dari daging, tetapi limbah tulang-belulang. Limbah rumah pemotongan hewan dan rumah pemotongan ayam selalu menghasilkan limbah berupa tulang keras, tulang rawan, sumsum, urat, dan sedikit daging yang masih melekat. Tulang kerasnya dipisahkan dan disebut MBM atau meat and bone meal. Ini merupakan bahan campuran industri pakan ternak, termasuk unggas.
Tulang rawan, urat, sumsum, dan daging disebut meat and debone meal (MDM). Produk inilah yang semula menjadi bahan campuran industri sosis, kornet, dan nuggets. Kini, MDM menjadi bahan utama makanan pabrik itu. Terlebih dalam sosis ayam. Yang dimaksud MDM unggas sebenarnya semua limbah ayam digiling, sebab sekeras apa pun tulang ayam masih amat lunak untuk menjadi sosis dan nuggets. Kita tidak pernah diberi tahu oleh Asosiasi Produsen Makanan Olahan Daging (National Association Meat Producer = NAMPA), berapa persen sebenarnya kandungan MDM pada tiap sosis dan nuggets. Jangan-jangan sudah 100 persen.
Pola industri ternak seperti ini sebenarnya sudah melawan hukum alam, sekaligus hukum Allah. Sapi dan domba aslinya herbivora. Dalam industri modern mereka dipaksa menjadi karnivora, bahkan kanibal. Unggas makan biji-bijian dan kadang serangga serta cacing. Tetapi mereka tidak pernah kanibal. Bahkan elang dan gagak yang karnivora pun tidak pernah kanibal. Tetapi manusia telah memaksa ayam dan itik menjadi kanibal. Bahkan DOC, anak ayam yang baru menetas pun, harus kembali digiling untuk dimakan oleh induk-induk mereka. Ini sudah lebih sadis dibanding kisah Sodom dan Gomora.


Limbah dari AS
Rakyat AS relatif cerdas dalam melihat "penyimpangan" atas hukum alam ini. Selain cerdas, mereka kaya. Itu sebabnya mereka tidak menyantap bagian lain dari ayam, kecuali daging dada. Kulit, daging paha, daging sayap, hati, ampela, tabu disantap. Apalagi kepala, leher, pantat, dan ceker. Semua itu harus dibuang. Lembaga konsumen AS juga ketat hingga limbah itu tidak bisa digiling begitu saja dan dijadikan pakan. Kasus sapi gila di Inggris membuat rakyat AS lebih waspada.
Ke manakah limbah yang masih layak makan itu dibuang? Tentu ke negara yang penduduknya banyak dan ekonominya lemah. Sasaran utama membuang paha dan sayap ayam adalah RRC, India, dan Indonesia. MDM hasil penggilingan limbah unggas juga dibuang ke negara berkembang dan negara miskin. Untuk sarana pembuangan, kota-kota besar di negara berkembang siap dengan restoran cepat saji dan pasar swalayan. Saat memungut sosis ayam dan nuggets, ibu-ibu pasti tak pernah membayangkan, bahan utama produk itu bukan daging, tetapi limbah.
Sebenarnya pemerintah harus mulai memperkuat agroindustri perunggasan tradisional peternakan itik sebagai penyeimbang. Kelembagaan peternakan rakyat ini sebenarnya sudah amat kuat. Hanya alokasi modal dan fasilitas lain tidak pernah tertuju ke mereka, sebab mereka bukan pengusaha yang punya kapling dalam Gabungan Perusahaan Perunggasan Indonesia (Gappi). Jika para peternak itik yang sudah massal pun tak tersentuh perhatian pemerintah, ayam kampung lebih tak terperhatikan lagi. Rakyat memang harus tabah dalam menerima petaka Sodom dan Gomora modern berupa wabah flu burung. (
F Rahardi-Wartawan/Penyair, Kompas, Jumat,19 Januari 2007)